Jumat, 03 September 2010

Ramadhan, Semangat Kemerdekaan Diri

Sahabat, 
Ramadhan adalah momentum kemerdekaan diri. Sudah saatnya kita terbebas dari belenggu diri yang selama ini menghantui, atau bahkan membuat kita tak berani tuk melangkah dalam hidup yang hanya sekali ini.

Mari kita renungkan, 
Negara kita memang telah merdeka dari 65 tahun yang lalu, namun tetap saja ada diantara kita yang masih terjajah, Penjajahan dengan 'wajah baru'. Apa itu? Diantaranya penjajahan iman, akhlaq, budaya, kemandirian, mode, dan lain sebagainya. Sebut saja permasalahan klasik bangsa ini yang seakan tak kunjung reda. Dari supremasi hukum yang carut marut, koruptor dianggap orator, pejabat banyak menghabiskan uang rakyat. jadi teringat syair dari nasyid Izzis, "Yang benar disalahkannya, yang salah dibenarkannya", Innalillahi. Di bidang pendidikan, masih banyak lembaga pendidikan yang hanya mengagungkan kecerdasan intelektualitas siswa semata, tanpa melihat bagaimana sang siswa menjalani prosesnya. Maka, slogan "pintar saja tak cukup, dengan uang semua beres" semakin menggurita. Belum lagi masalah pengangguran yang begitu menyesakkan dada. Dalam sebuah surat kabar diungkapkan bahwa pengangguran lulusan sarjana saja lebih dari 1 juta orang. Sangat mencengangkan untuk sebuah negara sentosa bernama Indonesia. 

Sahabat, kita tidak sedang menyalahkan siapapun atau apapun, yang mesti kita tanya adalah diri kita. Sudahkah kita benar-benar merdeka? Setidaknya, Ramadhan kali ini, bersamaan dengan momentum kemerdekaan negara Indonesia menjadi momentum kemerdekaan diri kita. Ada 3 poin penting yang menjadi landasan kemerdekaan diri. Yaitu : 

1. Merdeka Jiwa
Sahabatku, kita mungkin seringkali merasa rendah diri, tidak PD, takut melakukan perubahan, atau segudang keterbelengguan jiwa lainnya. Padahal hati itu ibarat wadah, seberapa besar kesulitan dan permasalahan yang kita lalui bergantung seberapa besar jiwa kita siap menghadapinya. Alkisah, seorang anak mengadu kepada ayahnya tentang banyaknya permasalahan yang ia hadapi. Namun sang ayah hanya tersenyum simpul, lalu meminta sang anak untuk mengambil segenggam garam dan melarutkannya ke sebuah gelas yang berisi sedikit air. Sang anak sambil terheran melakukan apa yang diperintahkan sang ayah. Belum juga ia mengerti, sang ayah memintanya  meminum air tersebut. Semakin terheran namun tetap ia lakukan. Tak kuat dengan air garam tersebut, sang anak lalu memuntahkan air garam tersebut sambil berkata "Ayah, apa maksud semua ini?", Sang ayah tetap tersenyum dan tak bergeming. lalu, sang ayah menuntun tangan  sang anak ke tengah danau. Tiba di pinggir danau, sang ayah meminta sang anak mengambil lagi segenggam garam, lalu dengan cara yang sama dilarutkan ke danau yang luas itu, lalu sang anak diminta untuk meminum air danau tersebut. "Segar Yah, Tidak asin!" Sang ayah lalu menjelaskan, "Nak, masalahmu ibarat garam tersebut, dan hatimu ibarat gelas atau danau itu. Sebesar apapun masalah, jika hatimu lebih lapang, maka masalah itu tidak akan pernah merenggut kebahagiaanmu, Besarkanlah jiwamu, maka kau kan bahagia". 

Sahabat, belajar dari kisah diatas, Mari, mulailah untuk lebih mencurahkan energi untuk hal-hal yang lebih penting dalam hidup, jangan terlalu sibuk memikirkan perkara sepele yang tidak ada faedahnya bagi diri kita. Misalnya benci kepada sesorang, iri hati, atau sikap pengecut lainnya yang menguras hampir separuh hidup kita. Mengapa? Karena hidup hanya sekali, terlalu mahal untuk tak disyukuri.

2. Merdeka dari kebodohan
Sahabaku, banyak pula diantara kita yang masih terjajah dalam kebodohan. Betapa tidak, banyak generasi muda kita yang bermental kuli, merasa acuh dengan masa depannya, atau tidak mau berpikir keras untuk menjadi generasi "Playing Maker" (Pemain) atau bahkan "Decision Maker" (Pembuat keputusan). Banyak diantara kita lebih senang dan bahkan bangga menggunakan merk-merk barat, model kebarat-baratan dan lain sebagainya. tanpa mengerti apa makna dan dampak dari meniru sifat konsumtif dan hedonisme tersebut. Ya, kita masih terjajah dengan mode, gaya, dan cara hidup mereka.  

Belum lagi semangat belajar dan investasi kita untuk ilmu. Misalnya saja, berapa rupiah yang kita investasikan setiap bulannya untuk membeli buku atau menghadiri majelis ilmu? bandingkan dengan banyaknya dana yang kita keluarkan untuk mempercantik wajah dan memanjakan perut?! Apa yang dilakukan bangsa Jepang yang porak poranda setelah di bom atom pada tahun1949 sepatutnya menjadipelajaran berharga bagi kita, mereka bangun negeri yang hancur itu mulai dari pendidikannya. Buku luar banyak diterjemahkan, bahkan banyak diantara buku pelajaran disajikan dalam bentuk komik agar mudah dicerna dan asyik dibaca. Ya, investasi mereka tidak sia-sia. Jepang menempatkan diri dalam posisi strategis dalam persaingan industri saat ini. Bagimana dengan bangsa kita? .....
Kita pasti BISA!

3. Merdeka dari persepsi yang salah
Sahabat, Tahukah bagaimana gajah-gajah di Thailand dijinakkan? Begini caranya, saat gajah masih kecil, Sang pawang mengikatkan kaki sang gajah ke sebuah besi yang besar yang diikatkan di sebuah tiang besi. Sang gajah yang masih liar mencoba untuk lari dan melepaskan ikatan itu, sehari, dua hari, hingga seminggu, sang gajah tak berhasil keluar dari jeratan besi itu, akhirnya gajah menyerah. Setiap hari yang ia lakukan hanyalah mengelilingi besi dimana ia diikat. Lalu pawang membawanya ke sebuah tempat, dengan tali seadanya ia ikatkan pada kaki sang gajah yang dipancangkan ke sebuah kayu biasa. Apa yang terjadi ? bertahun-tahun lamanya, sang gajah yang begitu gagah tak berani melangkah melebihi panjangnya tali, bahkan hanya untuk berpikir melepaskan diri dari ikatan yang tak kuat itupun sudah tak ada.

Sahabat, itulah diri yang terbelenggu oleh persepsi yang salah. Kita adalah makhluk yang dikaruniai banyak kelebihan.Namun,  kita jua yang membuatnya tumpul. Bayangkan, saat kita berkompetisi untuk lahir ke dunia saja ada lebih dari 500 juta sel sperma lain yang kita kalahkan. Maha suci Allah, you are the winner!
Sudah saatnya, kita mengubah mindset. Buang jauh-jauh sifat rendah diri dan tak berani. Jadilah pemenang bukan pecundang, pemain bukan penonton. Selamat berubah dan berkarya, Andalah pemenang sebenarnya.

Sahabat SETIA,
Salam Merdeka!
Setia Furqon Kholid

1 komentar:

  1. siphhh.....
    MERDEKA,kita harus memproklamasikan kemerdekaan diri tersebut!!!!!
    sudah saatnya kita bangkit,
    jadilah yang terbaik dari yang terbaik.!!!!!

    BalasHapus