Kamis, 07 Januari 2010

Jika Ku Harus Memilih Cinta


Suatu saat seorang pemuda, menatap kosong dan hampa masa depannya. Umurnya yang esok sudah genap seperempat abad. Ada sesuatu yang mengganjal dalam ulu hatinya beberapa bulan ini. Ya, apalagi kalau bukan kehadiran Sang bidadari pujaan hati yang kan menjadi pendamping hidupnya, yang kan menjaga kehormatan dirinya, menggenapkan setengah dinnya, menyuburkan semangat juangnya, dan melahirkan jundi-jundi yang menyejukkan mata dan penawar dahaga cintanya.



Terlebih, Sang Ibu sudah tak sabar menimang cucu, Tidak sampai disana, Berbagai tekanan saat berjumpa dengan sahabat-sahabat sebayanya yang mayoritas sudah menikah dan mempunyai anak seakan menjadi-jadi. kalimat klasik yang mereka tanyakan, “Gimana kabarnya Sahabatku , kapan menikah ?
“Huh… itu lagi. ”Jawabnya lirih.




Bukan……. bukan karena ia tak mau, bukan pula karena tak mampu. Telah ia rancang persiapan menuju mahligai rumah tangga yang berkah sejak 5 tahun yang lalu. Tepatnya saat masih di tingkat 3 kuliahnya.
Ia banyak bekerja keras dan ikhtiar menjemput rizki yang halal dan komitmen menyisihkan untuk hal yang satu ini. Namun, masih ada sesuatu yang mengganjal saat ia mencoba untuk yang kesekian kali ta’aruf dengan seorang akhwat, baik yang direkomendasikan Murobbinya (Mentor), maupun dari kabar burung beberapa sahabatnya. Alasannya, setiap kali memberanikan untuk ta’aruf, ada ketakutan dalam diri, “jangan-jangan ada yang lebih baik darinya. Daripada tergesa-gesa, lebih baik nanti saja lah”.



“Astagfirullah… “
Ia usap muka dan segera mengambil air wudhu. Solat istikhoroh dan memohon kepada Allah untuk ditunjukkan pendamping terbaik yang akan mendampinginya di belantara dunia sampai menapaki Jannah yang dijanjikanNya bagi orang yang menjaga kehormatan dirinya dengan keimanan.
Dalam sujud terakhir, tak terasa air mata pun berlinang, ia sangat takut bahwa apa yang dikhawatirkan selama ini adalah tipu daya syaithan yang menghalanginya untuk beribadah.



Do’a-do’a pun dipanjatkan. Air mata pun menetes, khusyu’ sekali, “Robbana hablanaa.. min azwajinaa wazurriyatina qurrota ayun waj’alna lil muttaqina imamaa”.
Ya Allah tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang orang yang bertaqwa



Setelah itu, tak tahu mengapa ingin sekali ia dengarkan nasyid (musik islami) dari laptopnya. Tapi bukan sembarang nasyid, bagaikan seorang wanita yang hamil dan mengidam, ia pun ingin mendengarkan nasyid lawas. Teringat dengan senandung Suara Persaudaraan yang 5 tahun lalu pernah ia dengarkan.
Ia buka layar laptopnya, ia buka folder nasyid lawas, dan Alhamdulillah, nasyid Suara Persaudaraan masih ada… Ia coba putar satu lagu dengan acak. Sayup-sayup terdengar dengan begitu merdu ….

Kulihat bunga di taman
Indah berseri menawan
Cantik anggun dan jelita
Melambai-lambai mepesona

Semerbak bunga setaman
Semarak warna-warnian
Memancarkan keanggunan sejuk dalam cahaya islam


Ada bertangkai mawar
Kaya akan wewangian
Khasanah yang memerah, kunging ungu dan merah jambu


Ada si lembut melati
Pantulkan putih nan suci
Tebarkan harumnya yang khas tegar drajat di medan ganas

Si kokoh anggrek
Berbaris serumpun menanti siraman kasih sejuk air jernih

Rimbun senyum dahlia
Palingkan gundah hara

Terhenyak aku tersadar
Semua itu bukan tujuan
Tetapi bunga islam yang tertaburkan benih iman pilihan

(Suara Persaudaraan, Bimbang)

Sambil tiduran ia dengarkan dengan khusyu’ ba’it demi ba’it dari lagu ini, berdesir rasa kekaguman di bait-bait pertama, senyumnya pun merekah.
Namun hatinya mulai gerimis dan istighfar puluhan kali saat bait yang terakhir dilantukan.
Terhenyak aku tersadar
Semua itu bukan tujuan
Tetapi bunga islam yang tertaburkan benih iman pilihan….

Yang menyampaikannya pada realita, memberikan energi baru, sekaligus jawaban do’a panjang di istikhoroh dan tahajjud-tahajjudnya.

Ya Allah, ampuni atas kelalaianku selama ini, aku yang terlalu banyak mempertimbangkan Mawar yang anggun, atau melati yang begitu ikhlas dan dewasa, layak menjadi ibu bagi anak-anakku. Akupun terlalu mempertimbangkan Sang Anggrek yang begitu giat berdakwah dan berorganisasi. Belum lagi senyuman Dahlia yang mengotori pikiran dan niatku. Padahal seharusnya IMAN PILIHANLAH standarku dalam memilih.

Tersadarkan dengan sebuah kata-kata yang entah darimana asalnya :
“Saya belum tentu menikahi orang yang saya cintai, tapi saya akan mencitai siapapun wanita yang saya nikahi”


Setia Furqon Kholid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar